Monday, October 1, 2012

Renungan - Perumpamaan Mengampuni

Matius 18:21-35
Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?" Yesus berkata kepadanya: "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali. Sebab hal Kerajaan Sorga seumpama seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. Setelah ia mulai mengadakan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta. Tetapi karena orang itu tidak mampu melunaskan hutangnya, raja itu memerintahkan supaya ia dijual beserta anak isterinya dan segala miliknya untuk pembayar hutangnya. Maka sujudlah hamba itu menyembah dia, katanya: Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan. Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya. Tetapi ketika hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang berhutang seratus dinar kepadanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu, katanya: Bayar hutangmu! Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan. Tetapi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya. Melihat itu kawan-kawannya yang lain sangat sedih lalu menyampaikan segala yang terjadi kepada tuan mereka. Raja itu menyuruh memanggil orang itu dan berkata kepadanya: Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkau pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau? Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya. Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu."

Cerita yang Dikisahkan Yesus

Apakah Yesus pernah menolak orang yang datang kepada-Nya dengan pertobatan dan iman? Tentu saja tidak, tidak pernah betapapun besar dosa yang telah ia lakukan. Itulah jawaban kami. Dan kita mengetahui hal ini karena "Alkitab mengatakan demikian." Tetapi berapa kali kita harus mengampuni saudara kita? Yesus mengampuni seseorang yang telah melakukan satu kejahatan yang keji sekali adalah satu hal, namun kita mengampuni sesama kita yang terus menerus jatuh ke dalam dosa yang sama merupakan hal yang lain.

Petrus, yang dilatih di dalam tradisi Hukum Taurat, para Nabi dan tradisi orang Yahudi, mengetahui bahwa dia harus mengampuni sesamanya. Dia tahu kewajibannya. Tetapi sampai di mana batasannya? Apakah sebenarnya ada batasannya? Petrus berpikir bahwa dia harus mengampuni sebanyak tujuh kali. Dia berpikir tujuh kali saja sudah cukup, dan kemungkinan besar Yes us akan mengatakan: "Ya Petrus, tujuh kali sudah cukup." Bukankah belas kasihan yang tidak terbatas mendorong orang hidup dalam dosa? Tidakkah Yesus sependapat dengan Petrus, "Cukup adalah cukup"?

Tetapi jawaban Yesus adalah, "Aku berkata kepadamu: bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali." Yesus mengalikan dua angka yaitu tujuh dan sepuluh - angka-angka yang melambangkan kesempurnaan - dan menambahkan lagi angka tujuh. Dia bermaksud mengatakan, bukan tujuh kali, tetapi tujuh puluh kali tujuh kali; yaitu kesempurnaan dikalikan kesempurnaan ditambah dengan kesempurnaan. Yesus memberikan konsep tentang ketidakterbatasan. Belas kasihan Allah begitu besar sehingga tidak dapat diukur; demikian juga kamu, Petrus, kamu harus menunjukkan belas kasihan yang seperti itu kepada sesamamu.

Yesus mengajarkan perumpamaan tentang hamba yang tidak mau mengampuni untuk menjelaskan besarnya kasih Allah dalam pengampunan, yang harus direfleksikan oleh umat-Nya, Dia menceritakan sebuah kisah dan menceritakannya dengan baik.

Seorang raja memanggil semua pegawai-pegawainya (hamba-hambanya) pada hari yang sudah ditentukan untuk mengadakan perhitungan. Salah satu dari mereka mempunyai hutang kepada raja dengan jumlah yang mengejutkan yaitu sepuluh ribu talenta, suatu jumlah yang mengandung arti jutaan. Sebenarnya, kata sepuluh ribu mempunyai arti dasar yang pokok yaitu tidak terhingga, tidak terhitung, tidak terbatas. Lagipula, pada zaman itu talenta merupakan satuan yang paling besar di dalam sistem moneter. Sebagai perbandingan, pajak tahunan dari seluruh kerajaan pada zaman Herodes Agung yaitu sekitar sembilan ratus talenta. Menteri keuangan tersebut jelas sekali berhutang dalam jumlah yang banyak kepada tuannya. Kita tidak diberitahu dia menggunakan uang tersebut untuk apa; hal ini tidak penting. Dia mempunyai hutang sepuluh ribu talenta, dan dia harus membayarnya. Dia tahu bahwa dia tidak akan pernah mengumpulkan uang sejumlah itu pada hari perhitungan.

Ketika dia berdiri di hadapan tuannya, dia mendengar keputusan bahwa dia, istrinya, anaknya, dan semua miliknya akan dijual untuk membayar hutangnya. Hal itu terlalu besar baginya. Dia bersujud di kaki tuannya, meminta belas kasihan dan memohon, "Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan." Dia memohon belas kasihan, bukan pengampunan. Dia menjanjikan ganti rugi, karena dia tahu bahwa dia hanya dapat memulai dan tidak lebih dari itu. Sebagai responsnya, dia menerima apa yang paling sedikit dia harapkan - pembebasan. Tuannya berbelas kasihan kepadanya, menghapuskan hutangnya dan membiarkan dia pergi. Luar biasa! Betapa sukacitanya! Betapa murah hatinya!

Semua ini hanya merupakan babak pertama dari sebuah drama. Babak kedua berhubungan dengan babak pertama: Menteri Keuangan itu menjadi tuan dan bertemu dengan pegawai raja yang lain.

Ketika menuruni tangga istana raja, hamba yang dibebaskan hutangnya oleh raja bertemu dengan sesama hamba yang berhutang seratus dinar kepadanya. Sebenarnya jumlah tersebut tidak berarti apa-apa, karen a dengan bekerja beberapa hari saja dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Tetapi pegawai raja tersebut mencekik orang itu dan menuntut pembayaran dengan segera, "Bayarlah hutangmu kepadaku!"  Orang yang berhutang itu sujud di kaki menteri keuangan dan memohon, "Bersabarlah, aku akan membayar kembali." Dia tidak perlu berkata" Aku akan membayar semuanya," karena jumlahnya begitu kecil. Tidak perlu diragukan dia pasti dapat membayar kembali semua hutangnya. Tetapi menteri keuangan itu menolaknya dan memasukkan orang itu ke penjara. Ia mengharapkan sese orang memberi jaminan dan membayar hutangnya.

Babak ketiga memperkenalkan saksi yang menyaksikan babak kedua; babak ini juga merupakan konfrontasi kedua dan terakhir antara raja dan pegawainya.

Tidak ada satupun perbuatan yang dapat dilakukan dengan sembunyi-sembunyi: rahasia-rahasia istana sulit untuk disimpan. Ada orang lain yang melihat apa yang telah terjadi dan tidak bisa menyembunyikannya. Mereka harus menceritakan peristiwa ini kepada raja. Ketika mendengar cerita itu, raja sangat marah. Dia memanggil pegawai tersebut dan memarahinya. "Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihi engkau?" kemudian raja itu menyerahkan dia kepada algojo-algojo sampai semua hutangnya dibayar.

Kesimpulannya adalah bahwa setiap orang yang pernah diampuni harus siap memberikan pengampunan kepada orang lain yang berhutang kepadanya dan harus melakukannya dengan sepenuh hati.

Pengajaran dari Perumpamaan ini


Kisah yang hidup ini diceritakan dengan rincian yang penuh warna dan menonjolkan kekontrasan antara kasih dan belas kasihan Allah yang tidak terbatas dengan perilaku manusia yang tanpa belas kasihan dan berusaha menghakimi atas dasar hukum. Yesus menggunakan perumpamaan ini untuk memberitahu Petrus tentang besarnya kasih Allah dalam mengampuni manusia berdosa. Dosa manusia sedemikian besar sehingga Allah harus mengampuninya dengan tidak terbatas sampai lebih dari tujuh puluh tujuh kali. Kedalaman belas kasihan Allah tidak dapat diukur, hanya dapat dikira-kira, dan secara samar-samar dapat diceritakan melalui kisah seorang pegawai yang berhutang sampai jutaan kepada tuannya.

Konsep yang dikemukakan adalah belas kasihan dan keadilan, meskipun kata keadilan tidak ditemukan di dalam perumpamaan ini. Belas kasihan dan keadilan merupakan konsep alkitabiah karena berulang kali muncul di dalam Perjanjian Lama, dikembangkan secara khusus oleh Pemazmur dan nabi-nabi.

Mazmur 101:1

Mazmur Daud. Aku hendak menyanyikan kasih setia dan hukum, aku hendak bermazmur bagi-Mu, ya TUHAN.

Orang-orang Yahudi tahu benar bahwa mereka harus berlatih untuk bermurah hati dan berbelas kasihan. Dengan jelas Allah mengatakan kepada mereka, "Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai seorang penagih hutang terhadap dia: janganlah kamu bebankan bunga uang kepadanya. Jika engkau sampai mengambil jubah temanmu sebagai gadai, maka haruslah engkau mengembalikannya kepadanya sebelum matahari terbenam, sebab hanya itu saja penutup tubuhnya, itulah pembalut kulitnya - pakai apakah ia pergi tidur? Maka apabila ia berseru-seru kepada-Ku, Aku akan mendengarkannya, sebab Aku ini pengasih." (Keluaran 22:25-27). Dan keadilan diekspresikan dalam berbagai cara. Contohnya, tuntutan-tuntutan ditekan pada tahun Pembebasan, tanah yang pernah diambil dikembalikan kepada pemilik aslinya selama tahun tersebut. Dan bahkan orang yang telah dijual menjadi budak dibebaskan. Singkatnya, orang-orang Yahudi pada zaman Yesus mengetahui bahwa belas kasihan dan keadilan tidak dapat diperlakukan secara terpisah, tetapi saling berhubungan.

Untuk alasan inilah Yesus menceritakan perumpamaan tentang pengampunan. Dia mengajarkan bahwa perilaku yang didasarkan pada belas kasihan bukan hal yang terpisah dari keadilan. Yesus mengajarkan aplikasi dari keduanya, yaitu belas kasihan dan keadilan. Terlalu sering kita merasa keadilan sebagai norma yang harus diterapkan dengan ketat, dan belas kasihan dilihat sebagai suatu hal yang dapat dilakukan sewaktu-waktu. Kita memilih untuk menerapkan belas kasihan sebagai sebuah "hak," dan seringkali dianjurkan dilakukan untuk menunjukkan kemurahan. Kita tahu bahwa keadilan dibangun dengan memberikan ruang bagi belas kasihan, namun demikian kita merasa bahwa belas kasihan tidak perlu terlalu sering ditunjukkan.

Namun demikian, pada zaman Perjanjian Lama, Allah memerintahkan umat-Nya untuk memandang belas kasihan dan keadilan sebagai norma yang sederajat. Kedua norma ini harus berlaku dan berfungsi, karena norma-norma tersebut merefleksikan bagaimana Allah memperlakukan umat-Nya. Tetapi lambat laun, penekanan ini berubah. Tulisan-tulisan pada periode antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru menyatakan bahwa pada hari penghakiman nanti keadilan akan berlaku dan belas kasihan akan berakhir. "Kemudian Yang Maha Tinggi akan terlihat di atas takhta pengadilan-Nya, dan semua belas kasihan dan kesabaran akan berakhir. Hanya penghakiman yang akan tetap ada" (II Esdras 7: 33-34, NEB).

Aplikasi


Di dalam masyarakat kita, kadang-kadang kita menekankan belas kasihan dengan mengorbankan keadilan. Memanjakan kejahatan telah dilakukan dengan sedemikian luas sehingga "hak-hak" pelanggar diteliti dengan sangat berhati-hati dan hak-hak orang yang dilanggar benar-benar diabaikan. Alkitab tidak mengajarkan bahwa belas kasihan menyingkirkan keadilan; juga tidak mengajarkan bahwa keadilan meniadakan belas kasihan. Keduanya merupakan norma yang sama-sama berlaku.

Bagaimana Yesus menunjukkan kepada Petrus bahwa dia harus mengampuni saudaranya tanpa batas? Dia menceritakan kisah seorang yang hutangnya sangat banyak dan yang memohon belas kasihan ketika keadilan dijalankan. Tuannya menghapuskan hutangnya dan menunjukkan belas kasihan yang tidak terbatas. Orang tersebut bebas dan bisa memelihara istri, anak-anak, dan harta miliknya. Dia bebas dari hutang!

Yesus tidak menceritakan kisah seorang yang berulang kali, hari demi hari, menghadap tuannya untuk memohon pengampunan atas dosa-dosa yang telah dia lakukan berkali-kali. Tetapi, untuk mengemukakan hutang kita pada Allah, Dia mengajarkan kisah seorang yang berhutang kepada tuannya dalam jumlah yang sangat besar. "Jika Engkau, ya TUHAN, mengingat-ingat kesalahan-kesalahan, TUHAN, siapakah yang dapat tahan? Tetapi pada-Mu ada-pengampunan, supaya Engkau ditakuti orang" (Mazmur 130:3-4). Keputusasaan manusia terbuka ketika dia berdiri di hadapan Allah. Dosa-dosanya sangat banyak karena dia telah melanggar hukum Allah. Dia patut menerima kematian. Tetapi dia tahu bahwa Allah adalah Allah yang berbelas kasihan. Allah memberikan tiga pilihan kepada Daud untuk menegakkan keadilan ketika Daud tidak menaati Allah dengan mengadakan sensus terhadap bangs a Israel dan Yudea yaitu: tiga tahun kelaparan, tiga bulan penganiayaan, atau tiga hari penyakit sampar. Daud menjawab, "BiarIah kiranya kita jatuh ke dalam tangan TUHAN, sebab besar kasih sayang-Nya; tetapi janganlah aku jatuh ke dalam tangan manusia" (2 Samuel 24:14; 1Tawarikh 21:13). Allah membukakan dosa Daud, menyampaikan keputusan-Nya, menunggu responsnya, dan menunjukkan belas kasihan-Nya.

Di dalam babak kedua dari kisah ini, Yesus menunjukkan bahwa manusia yang telah menerima pengampunan harus merefleksikan belas kasihan Allah. Seandainya Yesus tidak menggambarkan pegawai raja yang berlutut untuk memohon belas kasihan dan hanya menceritakan separo dari kisah ini, di mana orang itu memaksa temannya untuk membayar hutangnya, kita akan mengatakan bahwa keadilan berlaku meskipun ukurannya mungkin keras. Tetapi orang itu telah diampuni dari hutangnya yang besar, dan sekarang ia berhadapan dengan temannya yang jumlah hutangnya tidak seberapa. Temannya datang kepadanya untuk memohon belas kasihan. Apakah dia akan mengampuni?

Corrie ten Boom, seorang pembicara dan penulis yang terkenal, di penjara di dalam kamp konsentrasi Jerman selama Perang Dunia II. Dia sangat menderita karena perlakuan dari salah seorang penjaga Jerman. Bertahun-tahun kemudian dia memberikan kesaksian tentang sukacita di dalam mengikut Tuhan di suatu pertemuan sesudah perang Jerman. Sesudah pertemuan itu, sementara orang-orang bercakap-cakap dengan dia, penjaga Jerman yang sama itu mendekati Corrie dan meminta agar dia mengampuninya. Sekilas melihatnya, Corrie mengingat kembali luka dan penderitaan yang sangat dalam karena pemenjaraannya di mana dia menderita karen a perlakuan dari penjaga penjara itu. Sekarang dia berdiri di hadapannya meminta belas kasihan. Dan penjaga yang tidak patut menerima pengampunan itu menerimanya. Belas kasihan telah menang!

Pegawai raja yang digambarkan di dalam perumpamaan ini tidak mau mengampuni. Dia memakai prinsip keadilan tanpa belas kasihan. Dia memilih keadilan yang menang daripada membiarkan belas kasihan menang. Itulah kesalahan dia. Yakobus menulis bahwa "penghakiman yang tak berbelas kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas kasihan" (2:13). Hamba tersebut menolak untuk merefleksikan belas kasihan tuannya yang telah ditunjukkannya kepadanya. Karena dia tidak menunjukkan belas kasihan kepada temannya, tetapi menuntut keadilan, hamba itu harus menghadapi rajanya sekali lagi. Dengan menuntut keadilan, hamba tersebut telah memutuskan dirinya dari tuan dan temannya.

Di dalam bagian terakhir dari drama ini, hamba yang tidak mau mengampuni itu menghadapi seorang tuan yang marah. Apa yang telah dia perbuat kepada teman yang berhutang kepadanya, sekarang diperbuat tuannya kepadanya: keadilan diberlakukan tanpa belas kasihan. Hamba tersebut telah melemparkan dirinya sendiri ke dalam penderitaan yang tidak pernah ada akhirnya.

Allah tidak dapat rnengabaikan sebuah penolakan untuk menunjukkan belas kasihan, karena hal ini bertentangan dengan sifat-Nya, Firman-Nya, dan kesaksian-Nya, Allah rnengampuni dengan menerima orang berdosa seolah-olah dia tidak pernah berbuat dosa sarna sekali. Allah mengarnpuni hutang orang yang berdosa dan Dia tidak mengingat dosanya lagi (Mazmur 103:12 dan Yeremia 31:34). Dan Allah mengharapkan orang yang telah diampuni berbuat demikian juga. Karena itu dia adalah wakil Allah di dalam menunjukkan ciri-ciri ilahi yaitu karunia mengampuni.

Kesimpulan dari perumpamaan ini tidak diakhiri dengan kata-kata yang asing. Ketika Yesus mengajarkan Doa Bapa Karni, Dia rnelanjutkannya dengan mengatakan, "Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di surga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu" (Matius 6:14-15).

Tuhan Memberkati

SHARED BY
LOG

No comments:

Post a Comment