Showing posts with label Perumpamaan. Show all posts
Showing posts with label Perumpamaan. Show all posts

Thursday, October 18, 2012

Renungan - Perumpamaan Dua Orang Anak

Matius 21:28-32 "Tetapi apakah pendapatmu tentang ini: Seorang mempunyai dua anak laki-laki. Ia pergi kepada anak yang sulung dan berkata: Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini dalam kebun anggur. Jawab anak itu: Baik, bapa. Tetapi ia tidak pergi. Lalu orang itu pergi kepada anak yang kedua dan berkata demikian juga. Dan anak itu menjawab: Aku tidak mau. Tetapi kemudian ia menyesal lalu pergi juga. Siapakah di antara kedua orang itu yang melakukan kehendak ayahnya?" Jawab mereka: "Yang terakhir." Kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah. Sebab Yohanes datang untuk menunjukkan jalan kebenaran kepadamu, dan kamu tidak percaya kepadanya. Tetapi pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal percaya kepadanya. Dan meskipun kamu melihatnya, tetapi kemudian kamu tidak menyesal dan kamu tidak juga percaya kepadanya."

Perumpamaan tentang dua orang anak hanya terdapat di dalam Injil Matius. Perumpamaan ini ditandai dengan kesederhanaan dan dapat diringkas dengan perkataan Yakobus yang sangat terkenal, "Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri" (Yakobus 1:22). Ayat ini mengajarkan bahwa orang yang menolak untuk melakukan apa yang diminta darinya tetapi yang kemudian berubah pikiran dan melakukan tugas itu lebih baik dibandingkan dengan mereka yang berjanji untuk memelihara kewajiban-kewajiban tetapi tidak pernah menepatinya.

Injil Matius menempatkan perumpamaan ini tepat sesudah peristiwa imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi menanyakan tentang kuasa Yesus. Sebaliknya Yesus membalas bertanya kepada mereka mengenai baptisan Yohanes, apakah dari surga atau dari manusia. Dan jawaban mereka adalah, "Kami tidak tahu." Jawaban Yesus terhadap pertanyaan mereka mengenai kuasa Yesus adalah, "Jika demikian, Aku juga tidak mengatakan kepadamu dengan kuasa manakah Aku melakukan hal-hal itu."

Sementara mengajar di Bait Allah dengan imam-imam kepala dan tua-tua Yahudi sebagai pendengar-Nya, Yesus melanjutkan jalan pemikiran ini dengan menceritakan sebuah kisah tentang seorang ayah dan dua orang anaknya. Seorang ayah memiliki kebun anggur yang merupakan salah satu sumber pendapatan bagi keluarga. Karena itu, pekerjaan di kebun anggur dikerjakan secara komunal, yaitu dikerjakan oleh semua anggota keluarga. A yah tersebut pergi kepada anaknya yang sulung dan menyuruhnya pergi bekerja di kebun anggur pada hari itu. Tidak menjadi masalah apakah waktu itu adalah permulaan musim semi di mana anggur-anggur harus dipangkas, atau musim panas di mana lalang-Ialang harus dipotong, atau musim gugur di mana buah anggurnya harus dipanen. Tetapi yang penting adalah permintaan dan tanggapan atas permintaan tersebut. "Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini dalam kebun anggur." Anak pertama ini menunjukkan rasa tidak hormat sama sekali kepada ayahnya. Dia menjawab, "Aku tidak mau". Dia tidak menghargai ayahnya sebagai "bapa," dan bahkan merasa tidak terganggu dengan tidak memberikan alasan atas ketidaksediaannya untuk pergi.

Ayah tersebut harus pergi ke anaknya yang kedua dengan permintaan yang sarna yaitu supaya pergi bekerja di kebun anggur. Anak yang satu ini, dengan menunjukkan adat ketimuran yang sopan, menjawab ayahnya dengan benar dan mengatakan, "Baik, bapa." Tetapi dia tidak pergi. Dia berjanji kepada ayahnya akan bekerja satu hari penuh. Tetapi janji ini hanya merupakan janji yang tidak dimaksudkan untuk ditepati.

Penafsiran :
Yesus langsung mengajukan pertanyaan yang tidak dapat dielakkan oleh pendengarnya, "Siapakah anak yang taat?" Imam-imam kepala dan tua-tua Yahudi tidak dapat bersembunyi lagi di balik ketidaktahuan yang penuh pura-pura. Mereka terpaksa menjawab meskipun menyadari kalau perumpamaan ini berbicara tentang hirarki eklesiastik Israel. Mereka mengatakan bahwa anak yang semula menolak tetapi kemudian berubah pikiran itulah yang melakukan kehendak bapanya.

Yesus mengilustrasikan apa yang sebenarnya dimaksudkan kisah ayah dan dua orang anaknya ini di dalam konteks rohani pada zaman itu. Yesus mengatakan bahwa anak pertama merupakan personifikasi dari para pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal yang hidup di dalam dosa, yang menolak melakukan kehendak Allah. Tetapi ketika Yohanes Pembaptis datang " ... berilah dirimu dibaptis dan Allah akan mengampuni dosamu" (Markus 1:4), orang-orang yang dibuang secara moral dan sosial oleh masyarakat itu bertobat, percaya, dan masuk ke dalam Kerajaan Allah. Jadi mereka melakukan kehendak Bapa.

Anak kedua menggambarkan sikap para pemimpin agama pada zaman Yesus. Mereka adalah orang-orang yang melakukan segala sesuatu supaya dilihat oleh manusia: "Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksudkan supaya dilihat orang; mereka memakai tali sembahyang yang lebar dan jumbai yang panjang; mereka suka duduk di tempat terhormat dalam perjamuan dan di tempat terdepan di rumah ibadat; mereka suka menerima penghormatan di pasar dan suka dipanggil Rabi" (Matius 23:5-7). Mereka adalah orang-orang yang tidak mempraktekkan apa yang mereka khotbahkan. Y ohanes Pembaptis datang dan menunjukkan jalan kebenaran kepada mereka. Mereka mendengarkan perkataannya tetapi tidak percaya. Mereka benar-benar menolak Yohanes. Tetapi mereka melihat bahwa pemungut cukai menerima pesan Yohanes dan dibaptiskan. Meskipun demikian, mereka menolak tujuan Allah untuk diri mereka sendiri, menolak dibaptis oleh Yohanes (Lukas 7:30).

Aplikasi dari perumpamaan ini bersifat dinamis. Pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal telah menolak untuk menaati kehendak Allah. Tetapi mereka berbalik kepada Allah di dalam ketaatan ketika mendengar pesan ten tang pertobatan. Mereka seperti anak yang mengatakan "Aku tidak mau," tetapi kemudian berubah pikiran dan pergi bekerja di kebun anggur. Mereka seperti Zakheus yang berkata kepada Yesus, "Tuhan, setengah dari milikku akan kuberikan kepada orang miskin dan sekiranya ada sesuatu yang kuperas dari seseorang akan kukembalikan empat kali lipat" (Lukas 19:8).

Pemimpin-pemimpin agama yang agaknya ahli di dalam hukum Allah menunjukkan kerelaan hanya di luarnya saja. Tetapi di dalamnya mereka menolak menerima Firman Allah, baik Firman yang datang melalui tulisan nabi-nabi atau yang dikatakan oleh Yohanes Pembaptis dan Yesus. Mereka seperti anak yang menjawab ayahnya, "Baiklah Bapa," tetapi tidak pergi.

Meskipun perumpamaan ini relatif singkat dan pesannya sederhana, pengajaran yang diajarkan oleh perumpamaan ini sama sekali tidak sepele. Perumpamaan ini terdiri dari pengajaran Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru yaitu: menaati Firman Allah, memperhatikan suara-Nya, dan melakukan kehendak-Nya. Seperti yang dikatakan Samuel kepada Saul: "Sesungguhnya, mendengarkan lebih baik daripada korban sembelihan, memperhatikan lebih baik daripada lemak domba-domba jantan" (I Samuel 15:22), demikian juga Yesus memerintahkan murid-murid-Nya: "Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu" (Yohanes 15:14). Yesus sendiri berbicara mengenai ketaatan-Nya kepada Allah Bapa-Nya secara terbuka dengan mengatakan, "Sebab Aku telah turun dari surga bukan untuk melakukan kehendak-Ku, tetapi untuk melakukan kehendak Dia yang telah mengutus Aku. Dan inilah kehendak Dia yang telah mengutus Aku, yaitu supaya dari semua yang telah diberikan-Nya kepada-Ku jangan ada yang hilang, tetapi supaya Kubangkitkan pada akhir zaman" (Yohanes 6:38, 39).


SHARED BY
LOG

Friday, October 12, 2012

Renungan - Perumpamaan Orang-orang Upahan di Kebun Anggur

Matius 20:1-16
"Adapun hal Kerajaan Sorga sama seperti seorang tuan rumah yang pagi-pagi benar keluar mencari pekerja-pekerja untuk kebun anggurnya. Setelah ia sepakat dengan pekerja-pekerja itu mengenai upah sedinar sehari, ia menyuruh mereka ke kebun anggurnya. Kira-kira pukul sembilan pagi ia keluar pula dan dilihatnya ada lagi orang-orang lain menganggur di pasar. Katanya kepada mereka: Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku dan apa yang pantas akan kuberikan kepadamu. Dan mereka pun pergi. Kira-kira pukul dua belas dan pukul tiga petang ia keluar pula dan melakukan sama seperti tadi. Kira-kira pukul lima petang ia keluar lagi dan mendapati orang-orang lain pula, lalu katanya kepada mereka: Mengapa kamu menganggur saja di sini sepanjang hari? Kata mereka kepadanya: Karena tidak ada orang mengupah kami. Katanya kepada mereka: Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku. Ketika hari malam tuan itu berkata kepada mandurnya: Panggillah pekerja-pekerja itu dan bayarkan upah mereka, mulai dengan mereka yang masuk terakhir hingga mereka yang masuk terdahulu. Maka datanglah mereka yang mulai bekerja kira-kira pukul lima dan mereka menerima masing-masing satu dinar. Kemudian datanglah mereka yang masuk terdahulu, sangkanya akan mendapat lebih banyak, tetapi mereka pun menerima masing-masing satu dinar juga. Ketika mereka menerimanya, mereka bersungut-sungut kepada tuan itu, katanya: Mereka yang masuk terakhir ini hanya bekerja satu jam dan engkau menyamakan mereka dengan kami yang sehari suntuk bekerja berat dan menanggung panas terik matahari. Tetapi tuan itu menjawab seorang dari mereka: Saudara, aku tidak berlaku tidak adil terhadap engkau. Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari? Ambillah bagianmu dan pergilah; aku mau memberikan kepada orang yang masuk terakhir ini sama seperti kepadamu. Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku? Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati? Demikianlah orang yang terakhir akan menjadi yang terdahulu dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir."

Cerita yang dikenal dengan judul "Orang-orang Upahan di Kebun Anggur" ini merupakan salah satu perumpamaan tentang Kerajaan Surga yang ditulis oleh Matius. Tetapi perumpamaan ini tidak berakhir dengan pesan, "pergi dan perbuatlah demikian" di dalam Kerajaan Allah. Fokus perumpamaan ini bukan pada hubungan pekerja dan bukan soal memberikan gaji yang adil, tetapi pada perkataan dan perbuatan tuan yang secara teologis menunjuk pada Allah yang dengan bebas memberikan karunia yang baik kepada manusia. Cerita ini sungguh-sungguh menggemakan sebaris kalimat dari salah satu bagian Mazmur Daud, "Kecaplah dan lihatlah, betapa baiknya TUHAN itu ... " (Mazmur 34:9).

Pekerjaan dan Pekerja-pekerja :
Perumpamaan ini tidak memberikan waktu yang tepat saat di mana para pekerja dibutuhkan untuk bekerja di kebun anggur. Namun demikian asumsi bahwa ini terjadi pada bulan September} di mana buah anggur dipanen, tidaklah terlalu dibuat-buat. Periode waktu dari terbit sampai terbenamnya matahari selama bulan September di Israel adalah sekitar pukul 6 pagi sampai 6 sore. Dengan mengabaikan waktu istirahat untuk makan dan berdoa, pekerja-pekerja Yahudi pada zaman Yesus menganggap lama waktu kerja yang biasa dalam sehari adalah sepuluh jam. Temperatur pada bulan September di Israel selama tengah hari masih cukup tinggi, sehingga pekerja-pekerja di luar ladang atau di kebun anggur benar-benar mengalami "panasnya hari itu." Seorang pemilik kebun anggur yang cukup besar telah menetapkan untuk memanen anggurnya pada hari yang sudah ditentukan. Semua hamba yang bekerja kepadanya sepanjang tahun pergi ke kebun anggur pada pukul 6.00 pagi, sementara pada waktu fajar menyingsing pemiliknya mengunjungi pasar-pasar di dekat kota atau desa. Dia memerlukan sejumlah pekerja-pekerja lain, yaitu mereka yang tidak mempunyai pekerjaan dan yang mau melakukan pekerjaan harian dengan gaji yang pantas yaitu satu dinar sehari. Pria-pria yang sehat dan mampu untuk bekerja berdiri sejak pagi  antara pukul 5.00 dan 6.00 menunggu tuan yang datang kepada mereka untuk memberi pekerjaan. Pemilik kebun anggur itu berbicara kepada mereka, menyebutkan gaji harian mereka sebesar satu dinar. Mereka semua setuju, lalu ia membawa mereka ke kebun anggur untuk bekerja selama sepuluh jam. Pekerja-pekerja yang tidak mempunyai pekerjaan yang tetap itu sangat bergantung kepada tuan yang memerlukan mereka untuk bekerja dalam jangka waktu yang pendek. Jelas sekali bahwa para pekerja jauh lebih bergantung kepada kebaikan dan kemurahan tuan mereka daripada sebaliknya.

Pada zaman Yesus merupakan hak yang istimewa bagi seorang pekerja untuk ditempatkan di dalam posisi untuk mendapatkan gaji. Dengan menyediakan pekerjaan baginya, tuan tersebut telah menunjukkan kebaikan hati kepadanya. Perbuatan tersebut merupakan suatu anugerah dari tuannya. Dengan menghabiskan waktu menganggur di pasar berarti pekerja dan keluarganya bersandar kepada derma. Pekerja itu tidak memiliki sumber pendapatan, dan tidak selalu ada pemberian dari orang kaya. Karenanya, satu hari kerja merupakan anugerah bagi dia dan keluarganya.

Sementara para hamba dan pekerja sibuk dengan pekerjaannya di kebun anggur, pemilik kebun kembali ke pasar untuk melihat kalau¬kalau dia dapat menemukan lebih banyak pekerja lagi. Pada waktu itu antara pukul 8.00 dan pukul 9.00, waktu di mana banyak pekerja sedang melewatkan waktu mereka di pasar. Tuan tersebut meminta mereka untuk menghabiskan sis a waktu mereka bekerja di kebun anggurnya. Tuan tersebut menjanjikan gaji yang adil kepada mereka, meskipun dia tidak menetapkan jumlahnya. Para pekerja tersebut, mengetahui reputasi pemilik kebun anggur, percaya penuh kepadanya. Mereka pasti tidak akan kecewa di akhir hari itu.

Karena pekerjaan bertambah dan setelah pemilik dan mandurnya menghitung jumlah jam kerja yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan sebelum malam tiba, maka diperlukan tambahan pekerja. Pemilik kebun anggur mengetahui dengan pasti kapan buah anggurnya harus dipetik. Jika anggur-anggur tersebut tidak dipetik dan tertunda satu atau dua hari saja, maka kandungan gulanya menjadi terlalu tinggi. Harga pasar untuk anggur yang sangat bermutu tergantung pada ketepatan jumlah kadar gula dalam anggur. Jika waktu panen jatuh pada hari Jumat, pemilik tanah akan melakukan segalanya dengan segenap kekuatannya untuk menggaji pekerja tambahan supaya bisa menyelesaikan pekerjaannya sebelum hari Sabat.

Pergi ke pasar yang terdekat dilakukan dalam jangka waktu yang teratur, pada waktu siang dan pada pukul 15.00, dengan berbagai tingkat keberhasilan. Menjelang petang terlihat jelas bahwa proyek tersebut tidak dapat diselesaikan sebelum gelap kecuali didatangkan tambahan pekerja. Pemilik kebun anggur kembali lagi ke pasar pada jam lima dan mendapati orang-orang yang sedang berdiri. Dia bertanya mengapa mereka masih berada di pasar pada jam itu. Jawabannya adalah bahwa tidak ada seorang pun yang datang untuk menawarkan pekerjaan kepada mereka. Tuan itu berkata: "Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku." Tidak disebutkan di sana tentang pemberian upah.

Pemilik kebun anggur tahu bahwa para pekerja diizinkan untuk makan anggur sebanyak yang mereka inginkan. Dia memperkirakan kehilangan hampir tiga persen dari hasil panennya untuk pekerja-pekerjanya. Tetapi, dengan menggaji pekerja-pekerja yang mulai bekerja pada waktu petang, dia tidak beresiko kehilangan anggur terlalu banyak. Dia mengharapkan agar para pekerja memakai energi mereka untuk memanen anggur. "Pergi jugalah kamu ke kebun anggurku."

Jam Kerja dan Upah :
Sepanjang perumpamaan ini, tuan merupakan figur yang dominan. Dia pergi ke pasar pada waktu fajar menyingsing, mengupah pekerja-pekerja, mengamati perlunya pekerja-pekerja tambahan, dan kembali ke pasar berkali-kali untuk menambah lebih banyak pekerja. Dialah yang memerintahkan mandurnya untuk membayar para pekerja, dan dia sendirilah yang mengarahkan para pekerja yang berpikir bahwa mereka dicurangi. Pemilik kebun anggurlah yang mengontrol situasi mulai dari permulaan sampai akhir. Kenyataannya, dialah orang kepada siapa Kerajaan Surga dapat dibandingkan dalam kalimat pembukaan.

Bermacam-macam pertanyaan mungkin diajukan berkenaan dengan manajemen kebun anggur tersebut. Contohnya, mengapa pemilik kebun anggur kembali ke pasar sedikitnya empat kali untuk mengupah pekerja-pekerja tambahan? Kita mengharapkan agar pemilik kebun anggur tersebut membuat perhitungan yang hati-hati pada permulaan hari dan mengupah pekerja-pekerja dalam jumlah yang tepat untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut sebelum malam tiba. Tetapi kita tidak boleh menggunakan analisa Barat untuk cerita yang terjadi dalam kebudayaan timur. Hukum persediaan dan kebutuhan diteliti dengan jelas sekali. Tidak ada tuan yang menggunakan pekerja lebih banyak dari yang diperlukan. Lagipula pekerja-pekerja yang bekerja pada periode yang berikutnya pada hari itu datang ke kebun anggur tanpa merasa letih dan tidak dengan energi yang tersisa. Tuan tersebut menerima timbal balik yang tinggi dari pekerja-pekerja yang memberikan semua energinya selama separuh hari atau kurang.

Para pekerja dapat digaji dalam hitungan jam dan dapat meminta bayaran segera pada saat pekerjaan mereka selesai. Pekerja-pekerja yang berdiri di pasar sepanjang hari dapat pulang ke rumah pagi-pagi jika tidak ada orang yang memberikan pekerjaan kepada mereka. Atau mereka menunggu tuan-tuan yang datang dan memanggil mereka untuk bekerja setengah hari. Pekerja-pekerja ini tidak bermalas-malasan mencampuri urusan orang lain dan menghabiskan waktu mereka dengan gosip. Mereka mempunyai keluarga yang harus ditanggung dan karena itu dengan penuh harapan mereka menunggu seorang tuan yang membutuhkan pelayanan mereka. Bahkan pada pukul 17.00, mereka masih menunggu, berharap untuk diberi pekerjaan meskipun hanya satu jam atau untuk membuat persiapan untuk hari berikutnya. Pekerja-pekerja itu menunjukkan kesetiaan, dedikasi, dan sikap dapat dipercayai dengan cara mereka sendiri.

Para pekerja dibayar di akhir hari, Tuan-tuan juga memperhatikan perintah Alkitab untuk tidak menahan upah seorang pekerja sampai esok harinya (Imamat 19:13) dan tidak mengambil keuntungan dari pekerja yang miskin dan melarat. "Pada hari itu juga haruslah engkau membayar upahnya sebelum matahari terbenam; ia mengharapkannya, karena ia orang miskin; supaya ia jangan berseru kepada TVHAN mengenai engkau dan hal itu menjadi dosa bagimu" (Ulangan 24:15). Pemilik kebun anggur tersebut sangat memperhatikan perintah ini dan memerintahkan mandurnya untuk membayar upah para pekerja. Dia digambarkan sebagai orang yang adil dan dapat dipercaya. Hanya pekerja-pekerja yang bekerja mulai jam enam pagi yang dijanjikan upah satu dinar sehari. Mereka yang bekerja pukul sembilan diberitahu bahwa tuan tersebut akan membayar mereka sepantasnya. Dan mereka yang mulai bekerja pada jam berikutnya bahkan tidak diberitahu tentang gaji mereka. Mereka datang ke kebun anggur, mereka benar-benar percaya bahwa pemilik kebun akan membayar sesuatu kepada mereka pada sore harinya.

Pemilik tanah tersebut adalah orang yang memegang ucapannya. Pada waktu dia memerintahkan mandurnya untuk membayar upah para pekerja, dia membuat satu ketentuan: mulai dengan mereka yang masuk terakhir hingga mereka yang masuk terdahulu. Sungguh mengherankan ketika pekerja yang masuk terakhir menerima upah satu dinar! Mereka senang, sukacita, dan penuh ucapan terima kasih. Mereka tahu bahwa pemilik tanah itu bukan hanya dapat dipercaya dan jujur, tetapi juga murah hati. Semua pekerja yang bekerja setengah hari menerima upah yang sama dan menyaksikan kebaikan dan kemurahan hati tuannya.

Tetapi para pekerja yang bekerja mulai fajar dan yang merasakan panasnya matahari, berharap masing-masing dapat menerima lebih dari satu dinar. Mereka juga berharap bisa merasakan kemurahan hati tuannya. Tetapi harapan mereka tidak terpenuhi. Mereka menerima masing-masing satu dinar seperti yang sudah disepakati sebelum mereka mulai bekerja. Mereka melihat bahwa apa yang terjadi tidak adil; mereka mengungkapkan ketidaksenangan dan kekecewaan mereka dengan mengomel kepada pemilik tanah itu. Mereka mengomel dengan tidak sopan kepada tuan mereka. Mereka mengungkapkan keluhan-keluhan mereka dengan marah: kami bekerja keras sepanjang hari, menanggung teriknya matahari, dan menerima satu dinar; sedangkan mereka yang datang pukul lima sore, bekerja hanya satu jam, tetapi menerima satu dinar juga.

Tuan tersebut tidak merasa sakit hati. Dia memanggil salah satu pekerja yaitu juru bicaranya dan menyebut dia "saudara." Konotasinya mencela, tetapi nadanya bersahabat. Pemilik tanah tersebut menjawab omelan para pekerja dengan tetap menguasai situasi, "Saudara, aku tidak berlaku tidak adil terhadap engkau. Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari?" Para pekerja yang tidak puas itu mungkin dapat pergi ke pengadilan, tetapi mereka tidak mempunyai bukti yang dapat melawan tuan mereka. Mereka telah menyetujui satu dinar untuk bekerja satu hari penuh seperti yang mereka terima. Tuduhan tidak adil terhadap tuan mereka adalah untuk menutupi iri hati dan ketamakan. Tuan tersebut tidak membantah, tidak menjelaskan, dan tidak membenarkan dirinya. Dia mengajukan pertanyaan-pertanyaan di mana pendengarnya dipaksa menjawab setuju. "Bukankah kita telah sepakat sedinar sehari?" Sebuah pertanyaan yang juga merupakan satu jawaban. "Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku?"

Pokok permasalahannya bukanlah masalah kecurangan atau penipuan. Sebaliknya, tak seorang pun yang diperlakukan tidak adil. Sebagian besar para pekerja mengalami kemurahan hati si pemilik tanah. Jika ada orang yang mau berkorban dalam masalah ekonomi demi kebajikan, orang tersebut adalah si pemilik tanah. Pemilik tanah tersebut akan merasa jauh lebih baik jika telah membayar para pekerja dengan jumlah gaji yang tepat. Dia disalahkan karena kemurahan hatinya yang tulus. Dia bertanya, "Atau iri hatikah engkau, karena aku murah hati?" Melalui pertanyaannya yang terakhir, tuan tersebut menghapuskan selubung dari pegawai yang tidak puas. Dia telah menunjukkan kebaikan dan keramahan, sementara para pekerja menunjukkan keirihatian dan ketamakan. Mereka benar-benar buta terhadap kebajikan tuannya sampai topeng yang menyelubungi ketidakpuasan mereka dilepaskan melalui pertanyaan, "Atau iri hatikah engkau karena aku murah hati?"

Kata Yesus, hal ini sama dengan apa yang ada di dalam Kerajaan Surga. Karena Allah begitu baik, prinsip kasih karunia menang. Prinsip di dalam dunia adalah bahwa dia yang bekerja paling lama menerima gaji yang paling banyak. Ini namanya adil. Tetapi prinsip-prinsip jasa dan kemampuan dikesampingkan di dalam Kerajaan Allah, sehingga kasih karunia dapat berlaku.

Kasih Karunia

Perumpamaan ini tidak bermaksud mengajarkan pelajaran bisnis atau ekonomi. Perumpamaan ini tidak digunakan sebagai contoh tentang hubungan manusia di dalam lingkup pekerjaan dan manajemen. Pengajaran yang disampaikan di dalam perumpamaan ini adalah kasih karunia menggantikan praktek-praktek keadilan yang memihak dan praktek-praktek bisnis demi keuntungan. Tuan di dalam perumpamaan ini pergi ke pasar beberapa kali dalam satu hari dan melihat di belakang tiap-tiap pekerja ada keluarga yang memerlukan sokongan. Dia tahu bahwa jumlah dibawah sedinar tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga dalam sehari. Oleh karena itu, tuan tersebut membayar para pekerja yang bekerja selama setengah hari berdasarkan kebutuhan akan besarnya tanggungan mereka pada hari itu, bukan berdasarkan hitungan jam kerja. Dia adalah orang yang paling murah hati.

Ketika Yesus mengajarkan perumpamaan ini, Dia menghadapi pendengar yang biasanya diajarkan tentang upah menurut doktrin Yahudi. Orang-orang sezaman-Nya percaya bahwa manusia harus mengumpulkan perbuatan baik sebanyak-banyaknya dimana perbuatan-perbuatan baik tersebut dapat diubah menjadi upah di hadapan Allah. Karena itu mereka dapat datang kepada Allah dan menuntut upah. Itulah doktrin yang berlaku pada zaman Yesus. Seharusnya mereka sudah mengenal kasih karunia Allah yang mereka pujikan di dalam Mazmur dan doa. Namun demikian dalam kehidupan sehari-hari, mereka tetap menekankan upah dari suatu perbuatan.

Di dalam mengajarkan perumpamaan ini, Yesus menunjukkan bahwa Allah tidak memperlakukan semua manusia menurut prinsip-prinsip upah, keadilan, dan ekonomi. Dalam beberapa hal, Allah tidak tertarik untuk mencari untung. Allah tidak memperlakukan manusia atas dasar "pukulan dibalas dengan pukulan" atau "satu perbuatan baik dibalas dengan perbuatan baik yang lain." Kasih karunia Allah tidak dapat dibagi secara sederhana menjadi jumlah proporsi yang sudah diatur dengan rapi menurut jasa yang telah di kumpulkan seseorang. Biasanya ada sebuah koin di dalam sirkulasi uang yang disebut pondion, yang nilainya seperduabelas dinar. Tetapi, kasih karunia Allah tidak beredar di dalam persentase, karena "dari kepenuhan-Nya kita semua telah menerima kasih karunia demi kasih karunia" (Yohanes 1:16).

Aplikasi :

Allah itu baik;
Allah itu baik;
Allah itu baik;
Amat baik bagi saya.

Pujian sederhana ini, yang dinyanyikan dengan semangat di dalam banyak bahasa di seluruh dunia, mengungkapkan arti dasar dari perumpamaan ini. Di dalam Kerajaan Surga, kebaikan Allah berlaku dan diperlihatkan kepada orang-orang yang telah masuk ke dalam Kerajaan melalui kasih karunia saja, Fakta bahwa pemilik tanah membayar satu dinar kepada mereka yang telah diberitahu bahwa mereka akan menerima "apa yang pantas" dan juga bagi mereka yang tidak diberitahu apa-apa mengenai upah mereka, semata-mata adalah kebaikan yang murni. Semua pekerja menerima upah yang sama, yang cukup untuk menghidupi keluarga mereka. Dan para pekerja yang telah setuju untuk bekerja dengan upah sedinar sehari harus mengakui bahwa tuan tanah tersebut adalah seorang yang adil, yang menghargai komitmennya. Keadilan dan kebaikan yang ditunjukkan di dalam perumpamaan ini merupakan karakteristik yang mendasar di dalam Kerajaan Allah.

Konteks yang dekat dengan perumpamaan ini berhubungan dengan pertanyaan Petrus dan respons Yesus. Petrus menanyakan apa yang akan diterima oleh dia dan murid-murid Yesus yang lain karen a mengikut Yesus: "Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau; jadi apakah yang akan kami peroleh?" Yesus menjawab bahwa pengikut-pengikut-Nya akan menerima berkat rohani yang tidak terkatakan:

Matius19:27-30

Lalu Petrus menjawab dan berkata kepada Yesus: "Kami ini telah meninggalkan segala sesuatu dan mengikut Engkau; jadi apakah yang akan kami peroleh?"Kata Yesus kepada mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pada waktu penciptaan kembali, apabila Anak Manusia bersemayam di takhta kemuliaan-Nya, kamu, yang telah mengikut Aku, akan duduk juga di atas dua belas takhta untuk menghakimi kedua belas suku Israel. Dan setiap orang yang karena nama-Ku meninggalkan rumahnya, saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan, bapa atau ibunya, anak-anak atau ladangnya, akan menerima kembali seratus kali lipat dan akan memperoleh hidup yang kekal. Tetapi banyak orang yang terdahulu akan menjadi yang terakhir, dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu."

Yesus mengilustrasikan arti kalimat yang terakhir - "Tetapi banyak orang yang terdahulu akan menjadi yang terakhir, dan yang terakhir akan menjadi yang terdahulu" - dengan memakai perumpamaan tentang orang-orang upahan di kebun anggur. Jadi, Dia menyimpulkan perumpamaan ini dengan kalimat yang sama, tetapi dengan urutan terbalik, "Yang terakhir akan menjadi yang terdahulu, dan yang terdahulu akan menjadi yang terakhir."

Dengan memakai perkataan ini Yesus tidak bermaksud menunjukkan kepada Petrus dan murid-murid lain bahwa posisi pertama dan terakhir di dalam kerajaan akan dibalik. Perumpamaan ini menunjukkan bahwa kesederajatan merupakan peraturan didalam Kerajaan Surga. Pekerjaan yang dilakukan oleh murid-murid, dan juga semua pengikut Yesus yang lain, dihargai sederajat, meskipun pekerjaan itu sendiri mungkin berbeda-beda. Pemberian Allah merupakan kasih karunia belaka. Kasih karunia Allah cukup untuk semua orang.

Pendengar mula-mula dari perumpamaan ini adalah murid-murid Yesus. Tidak dapat dipastikan apakah orang lain hadir pada saat itu. Sama seperti anak-anak pada zaman mereka, murid-murid ditekankan dengan doktrin tentang upah. Mereka perlu membuang pengajaran ini supaya menghargai kebaikan Allah sepenuhnya, dan mereka melihat bahwa tempat mereka di dalam Kerajaan Surga didasarkan pada kasih karunia. Lagipula, selama waktu itu mereka juga akan menyambut non Yahudi masuk ke gereja. Misalnya, Petrus dikirim ke rumah Kornelius, seorang perwira pasukan Roma, untuk memberitakan Injil, untuk membaptis orang-orang percaya, dan untuk memuliakan Allah yang menjamin "pertobatan yang memimpin kepada hidup" bagi non Yahudi (Kisah 11:18). Orang-orang bukan Yahudi akan menerima pemberian yang sama dengan yang Allah berikan kepada bangsa Yahudi yang percaya kepada Yesus. Paulus menyebutkan pemberian ini sebagai sebuah misteri dan menyimpulkan "bahwa orang-orang bukan Yahudi, karena Berita Injil, turut menjadi ahli-ahli waris dan anggota-anggota tubuh dan peserta dalam janji yang diberikan dalam Kristus Yesus" (Efesus 3:6).

Kemudian, siapa sebenarnya pekerja-pekerja yang menggerutu? Meskipun perumpamaan ini seharusnya tidak ditafsirkan secara alegoris, pertanyaan yang berhubungan dengan arti dari para pekerja yang mengeluh adalah benar. Mereka dapat dibandingkan dengan anak sulung di dalam perumpamaan anak yang hilang. Kedua perumpamaan ini merefleksikan sikap beberapa orang Farisi yang menempatkan diri berada di posisi tingkat pertama di dalam Kerajaan Allah karena semangat mereka di dalam mematuhi hukum Allah. Orang-orang Farisi mengharapkan Allah memberi upah atas pekerjaan mereka dan menahan berkat untuk orang-orang berdosa yang tidak pantas untuk mendapatkannya. Dengan menggunakan perumpamaan-perumpamaan ini, Yesus menunjukkan kepada mereka (dengan mengasumsikan bahwa orang-orang itu sebagai pendengar) bahwa Allah adalah Allah yang adil, yang menghormati Firman-Nya, tetapi Dia juga menawarkan "belas kasihan yang bukan berdasarkan perjanjian" bagi mereka yang tidak pantas menerimanya, tetapi meskipun demikian mereka juga merupakan orang-orang yang berhak menerima kasih karunia-Nya.

Perumpamaan ini mengajarkan bahwa ketika seseorang datang kepada Allah, ia tidak menerima kasih karunia ilahi berdasarkan kalkulasi yang diperhitungkan dengan teliti. Tetapi Allah dengan bebas memberikan jaminan pemberian pengampunan, perdamaian, damai, sukacita, kebahagiaan, dan kepastian kepada mereka. Semua kebutuhannya dipenuhi "menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus" (Filipi 4:19). Bagi orang-orang Kristen, masuknya orang-orang yang bertobat ke dalam gereja Yesus Kristus haruslah menjadi alasan untuk bersukacita, bukan alasan untuk bersikap skeptik. Tetapi sejarah mengajarkan bahwa skeptisisme seperti itu telah terjadi berulang kali. Ketika George Whitefield, John dan Charles Wesley membawa Injil kepada masyarakat kelas rendah pada abad ke delapan belas, mereka dikritik dan dimarahi oleh orang-orang Kristen konvensional. William Booth dihukum oleh orang-orang gereja yang merasa diri benar pada zamannya, karena dia menunjukkan belas kasihan kepada para penghuni perkampungan yang sangat miskin dan kotor di London dan memberi mereka "soup, soap, and salvation" ("sup, sabun dan keselamatan").

Perumpamaan ini akan selalu tidak dapat diterima oleh orang orang yang mengharapkan dapat mengatur keselamatan menurut aturan-aturan dan ketentuan-ketentuan yang dibuat manusia. Tetapi Kerajaan Surga bebas dari birokrasi manusia, seperti yang diajarkan Alkitab. Kasih karunia Allah penuh dan bebas untuk semua orang yang datang kepada-Nya di dalam iman. Dan semua yang menerima kasih karunia ini menyatakan bersama-sama dengan Pemazmur demikian:

Mazmur 107:1
Bersyukurlah kepada TUHAN, sebab Ia baik! Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setia-Nya.


SHARED BY
LOG

Monday, October 1, 2012

Renungan - Perumpamaan Mengampuni

Matius 18:21-35
Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: "Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?" Yesus berkata kepadanya: "Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali. Sebab hal Kerajaan Sorga seumpama seorang raja yang hendak mengadakan perhitungan dengan hamba-hambanya. Setelah ia mulai mengadakan perhitungan itu, dihadapkanlah kepadanya seorang yang berhutang sepuluh ribu talenta. Tetapi karena orang itu tidak mampu melunaskan hutangnya, raja itu memerintahkan supaya ia dijual beserta anak isterinya dan segala miliknya untuk pembayar hutangnya. Maka sujudlah hamba itu menyembah dia, katanya: Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan. Lalu tergeraklah hati raja itu oleh belas kasihan akan hamba itu, sehingga ia membebaskannya dan menghapuskan hutangnya. Tetapi ketika hamba itu keluar, ia bertemu dengan seorang hamba lain yang berhutang seratus dinar kepadanya. Ia menangkap dan mencekik kawannya itu, katanya: Bayar hutangmu! Maka sujudlah kawannya itu dan memohon kepadanya: Sabarlah dahulu, hutangku itu akan kulunaskan. Tetapi ia menolak dan menyerahkan kawannya itu ke dalam penjara sampai dilunaskannya hutangnya. Melihat itu kawan-kawannya yang lain sangat sedih lalu menyampaikan segala yang terjadi kepada tuan mereka. Raja itu menyuruh memanggil orang itu dan berkata kepadanya: Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkau pun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau? Maka marahlah tuannya itu dan menyerahkannya kepada algojo-algojo, sampai ia melunaskan seluruh hutangnya. Maka Bapa-Ku yang di sorga akan berbuat demikian juga terhadap kamu, apabila kamu masing-masing tidak mengampuni saudaramu dengan segenap hatimu."

Cerita yang Dikisahkan Yesus

Apakah Yesus pernah menolak orang yang datang kepada-Nya dengan pertobatan dan iman? Tentu saja tidak, tidak pernah betapapun besar dosa yang telah ia lakukan. Itulah jawaban kami. Dan kita mengetahui hal ini karena "Alkitab mengatakan demikian." Tetapi berapa kali kita harus mengampuni saudara kita? Yesus mengampuni seseorang yang telah melakukan satu kejahatan yang keji sekali adalah satu hal, namun kita mengampuni sesama kita yang terus menerus jatuh ke dalam dosa yang sama merupakan hal yang lain.

Petrus, yang dilatih di dalam tradisi Hukum Taurat, para Nabi dan tradisi orang Yahudi, mengetahui bahwa dia harus mengampuni sesamanya. Dia tahu kewajibannya. Tetapi sampai di mana batasannya? Apakah sebenarnya ada batasannya? Petrus berpikir bahwa dia harus mengampuni sebanyak tujuh kali. Dia berpikir tujuh kali saja sudah cukup, dan kemungkinan besar Yes us akan mengatakan: "Ya Petrus, tujuh kali sudah cukup." Bukankah belas kasihan yang tidak terbatas mendorong orang hidup dalam dosa? Tidakkah Yesus sependapat dengan Petrus, "Cukup adalah cukup"?

Tetapi jawaban Yesus adalah, "Aku berkata kepadamu: bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali." Yesus mengalikan dua angka yaitu tujuh dan sepuluh - angka-angka yang melambangkan kesempurnaan - dan menambahkan lagi angka tujuh. Dia bermaksud mengatakan, bukan tujuh kali, tetapi tujuh puluh kali tujuh kali; yaitu kesempurnaan dikalikan kesempurnaan ditambah dengan kesempurnaan. Yesus memberikan konsep tentang ketidakterbatasan. Belas kasihan Allah begitu besar sehingga tidak dapat diukur; demikian juga kamu, Petrus, kamu harus menunjukkan belas kasihan yang seperti itu kepada sesamamu.

Yesus mengajarkan perumpamaan tentang hamba yang tidak mau mengampuni untuk menjelaskan besarnya kasih Allah dalam pengampunan, yang harus direfleksikan oleh umat-Nya, Dia menceritakan sebuah kisah dan menceritakannya dengan baik.

Seorang raja memanggil semua pegawai-pegawainya (hamba-hambanya) pada hari yang sudah ditentukan untuk mengadakan perhitungan. Salah satu dari mereka mempunyai hutang kepada raja dengan jumlah yang mengejutkan yaitu sepuluh ribu talenta, suatu jumlah yang mengandung arti jutaan. Sebenarnya, kata sepuluh ribu mempunyai arti dasar yang pokok yaitu tidak terhingga, tidak terhitung, tidak terbatas. Lagipula, pada zaman itu talenta merupakan satuan yang paling besar di dalam sistem moneter. Sebagai perbandingan, pajak tahunan dari seluruh kerajaan pada zaman Herodes Agung yaitu sekitar sembilan ratus talenta. Menteri keuangan tersebut jelas sekali berhutang dalam jumlah yang banyak kepada tuannya. Kita tidak diberitahu dia menggunakan uang tersebut untuk apa; hal ini tidak penting. Dia mempunyai hutang sepuluh ribu talenta, dan dia harus membayarnya. Dia tahu bahwa dia tidak akan pernah mengumpulkan uang sejumlah itu pada hari perhitungan.

Ketika dia berdiri di hadapan tuannya, dia mendengar keputusan bahwa dia, istrinya, anaknya, dan semua miliknya akan dijual untuk membayar hutangnya. Hal itu terlalu besar baginya. Dia bersujud di kaki tuannya, meminta belas kasihan dan memohon, "Sabarlah dahulu, segala hutangku akan kulunaskan." Dia memohon belas kasihan, bukan pengampunan. Dia menjanjikan ganti rugi, karena dia tahu bahwa dia hanya dapat memulai dan tidak lebih dari itu. Sebagai responsnya, dia menerima apa yang paling sedikit dia harapkan - pembebasan. Tuannya berbelas kasihan kepadanya, menghapuskan hutangnya dan membiarkan dia pergi. Luar biasa! Betapa sukacitanya! Betapa murah hatinya!

Semua ini hanya merupakan babak pertama dari sebuah drama. Babak kedua berhubungan dengan babak pertama: Menteri Keuangan itu menjadi tuan dan bertemu dengan pegawai raja yang lain.

Ketika menuruni tangga istana raja, hamba yang dibebaskan hutangnya oleh raja bertemu dengan sesama hamba yang berhutang seratus dinar kepadanya. Sebenarnya jumlah tersebut tidak berarti apa-apa, karen a dengan bekerja beberapa hari saja dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Tetapi pegawai raja tersebut mencekik orang itu dan menuntut pembayaran dengan segera, "Bayarlah hutangmu kepadaku!"  Orang yang berhutang itu sujud di kaki menteri keuangan dan memohon, "Bersabarlah, aku akan membayar kembali." Dia tidak perlu berkata" Aku akan membayar semuanya," karena jumlahnya begitu kecil. Tidak perlu diragukan dia pasti dapat membayar kembali semua hutangnya. Tetapi menteri keuangan itu menolaknya dan memasukkan orang itu ke penjara. Ia mengharapkan sese orang memberi jaminan dan membayar hutangnya.

Babak ketiga memperkenalkan saksi yang menyaksikan babak kedua; babak ini juga merupakan konfrontasi kedua dan terakhir antara raja dan pegawainya.

Tidak ada satupun perbuatan yang dapat dilakukan dengan sembunyi-sembunyi: rahasia-rahasia istana sulit untuk disimpan. Ada orang lain yang melihat apa yang telah terjadi dan tidak bisa menyembunyikannya. Mereka harus menceritakan peristiwa ini kepada raja. Ketika mendengar cerita itu, raja sangat marah. Dia memanggil pegawai tersebut dan memarahinya. "Hai hamba yang jahat, seluruh hutangmu telah kuhapuskan karena engkau memohonkannya kepadaku. Bukankah engkaupun harus mengasihani kawanmu seperti aku telah mengasihi engkau?" kemudian raja itu menyerahkan dia kepada algojo-algojo sampai semua hutangnya dibayar.

Kesimpulannya adalah bahwa setiap orang yang pernah diampuni harus siap memberikan pengampunan kepada orang lain yang berhutang kepadanya dan harus melakukannya dengan sepenuh hati.

Pengajaran dari Perumpamaan ini


Kisah yang hidup ini diceritakan dengan rincian yang penuh warna dan menonjolkan kekontrasan antara kasih dan belas kasihan Allah yang tidak terbatas dengan perilaku manusia yang tanpa belas kasihan dan berusaha menghakimi atas dasar hukum. Yesus menggunakan perumpamaan ini untuk memberitahu Petrus tentang besarnya kasih Allah dalam mengampuni manusia berdosa. Dosa manusia sedemikian besar sehingga Allah harus mengampuninya dengan tidak terbatas sampai lebih dari tujuh puluh tujuh kali. Kedalaman belas kasihan Allah tidak dapat diukur, hanya dapat dikira-kira, dan secara samar-samar dapat diceritakan melalui kisah seorang pegawai yang berhutang sampai jutaan kepada tuannya.

Konsep yang dikemukakan adalah belas kasihan dan keadilan, meskipun kata keadilan tidak ditemukan di dalam perumpamaan ini. Belas kasihan dan keadilan merupakan konsep alkitabiah karena berulang kali muncul di dalam Perjanjian Lama, dikembangkan secara khusus oleh Pemazmur dan nabi-nabi.

Mazmur 101:1

Mazmur Daud. Aku hendak menyanyikan kasih setia dan hukum, aku hendak bermazmur bagi-Mu, ya TUHAN.

Orang-orang Yahudi tahu benar bahwa mereka harus berlatih untuk bermurah hati dan berbelas kasihan. Dengan jelas Allah mengatakan kepada mereka, "Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang dari umat-Ku, orang yang miskin di antaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai seorang penagih hutang terhadap dia: janganlah kamu bebankan bunga uang kepadanya. Jika engkau sampai mengambil jubah temanmu sebagai gadai, maka haruslah engkau mengembalikannya kepadanya sebelum matahari terbenam, sebab hanya itu saja penutup tubuhnya, itulah pembalut kulitnya - pakai apakah ia pergi tidur? Maka apabila ia berseru-seru kepada-Ku, Aku akan mendengarkannya, sebab Aku ini pengasih." (Keluaran 22:25-27). Dan keadilan diekspresikan dalam berbagai cara. Contohnya, tuntutan-tuntutan ditekan pada tahun Pembebasan, tanah yang pernah diambil dikembalikan kepada pemilik aslinya selama tahun tersebut. Dan bahkan orang yang telah dijual menjadi budak dibebaskan. Singkatnya, orang-orang Yahudi pada zaman Yesus mengetahui bahwa belas kasihan dan keadilan tidak dapat diperlakukan secara terpisah, tetapi saling berhubungan.

Untuk alasan inilah Yesus menceritakan perumpamaan tentang pengampunan. Dia mengajarkan bahwa perilaku yang didasarkan pada belas kasihan bukan hal yang terpisah dari keadilan. Yesus mengajarkan aplikasi dari keduanya, yaitu belas kasihan dan keadilan. Terlalu sering kita merasa keadilan sebagai norma yang harus diterapkan dengan ketat, dan belas kasihan dilihat sebagai suatu hal yang dapat dilakukan sewaktu-waktu. Kita memilih untuk menerapkan belas kasihan sebagai sebuah "hak," dan seringkali dianjurkan dilakukan untuk menunjukkan kemurahan. Kita tahu bahwa keadilan dibangun dengan memberikan ruang bagi belas kasihan, namun demikian kita merasa bahwa belas kasihan tidak perlu terlalu sering ditunjukkan.

Namun demikian, pada zaman Perjanjian Lama, Allah memerintahkan umat-Nya untuk memandang belas kasihan dan keadilan sebagai norma yang sederajat. Kedua norma ini harus berlaku dan berfungsi, karena norma-norma tersebut merefleksikan bagaimana Allah memperlakukan umat-Nya. Tetapi lambat laun, penekanan ini berubah. Tulisan-tulisan pada periode antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru menyatakan bahwa pada hari penghakiman nanti keadilan akan berlaku dan belas kasihan akan berakhir. "Kemudian Yang Maha Tinggi akan terlihat di atas takhta pengadilan-Nya, dan semua belas kasihan dan kesabaran akan berakhir. Hanya penghakiman yang akan tetap ada" (II Esdras 7: 33-34, NEB).

Aplikasi


Di dalam masyarakat kita, kadang-kadang kita menekankan belas kasihan dengan mengorbankan keadilan. Memanjakan kejahatan telah dilakukan dengan sedemikian luas sehingga "hak-hak" pelanggar diteliti dengan sangat berhati-hati dan hak-hak orang yang dilanggar benar-benar diabaikan. Alkitab tidak mengajarkan bahwa belas kasihan menyingkirkan keadilan; juga tidak mengajarkan bahwa keadilan meniadakan belas kasihan. Keduanya merupakan norma yang sama-sama berlaku.

Bagaimana Yesus menunjukkan kepada Petrus bahwa dia harus mengampuni saudaranya tanpa batas? Dia menceritakan kisah seorang yang hutangnya sangat banyak dan yang memohon belas kasihan ketika keadilan dijalankan. Tuannya menghapuskan hutangnya dan menunjukkan belas kasihan yang tidak terbatas. Orang tersebut bebas dan bisa memelihara istri, anak-anak, dan harta miliknya. Dia bebas dari hutang!

Yesus tidak menceritakan kisah seorang yang berulang kali, hari demi hari, menghadap tuannya untuk memohon pengampunan atas dosa-dosa yang telah dia lakukan berkali-kali. Tetapi, untuk mengemukakan hutang kita pada Allah, Dia mengajarkan kisah seorang yang berhutang kepada tuannya dalam jumlah yang sangat besar. "Jika Engkau, ya TUHAN, mengingat-ingat kesalahan-kesalahan, TUHAN, siapakah yang dapat tahan? Tetapi pada-Mu ada-pengampunan, supaya Engkau ditakuti orang" (Mazmur 130:3-4). Keputusasaan manusia terbuka ketika dia berdiri di hadapan Allah. Dosa-dosanya sangat banyak karena dia telah melanggar hukum Allah. Dia patut menerima kematian. Tetapi dia tahu bahwa Allah adalah Allah yang berbelas kasihan. Allah memberikan tiga pilihan kepada Daud untuk menegakkan keadilan ketika Daud tidak menaati Allah dengan mengadakan sensus terhadap bangs a Israel dan Yudea yaitu: tiga tahun kelaparan, tiga bulan penganiayaan, atau tiga hari penyakit sampar. Daud menjawab, "BiarIah kiranya kita jatuh ke dalam tangan TUHAN, sebab besar kasih sayang-Nya; tetapi janganlah aku jatuh ke dalam tangan manusia" (2 Samuel 24:14; 1Tawarikh 21:13). Allah membukakan dosa Daud, menyampaikan keputusan-Nya, menunggu responsnya, dan menunjukkan belas kasihan-Nya.

Di dalam babak kedua dari kisah ini, Yesus menunjukkan bahwa manusia yang telah menerima pengampunan harus merefleksikan belas kasihan Allah. Seandainya Yesus tidak menggambarkan pegawai raja yang berlutut untuk memohon belas kasihan dan hanya menceritakan separo dari kisah ini, di mana orang itu memaksa temannya untuk membayar hutangnya, kita akan mengatakan bahwa keadilan berlaku meskipun ukurannya mungkin keras. Tetapi orang itu telah diampuni dari hutangnya yang besar, dan sekarang ia berhadapan dengan temannya yang jumlah hutangnya tidak seberapa. Temannya datang kepadanya untuk memohon belas kasihan. Apakah dia akan mengampuni?

Corrie ten Boom, seorang pembicara dan penulis yang terkenal, di penjara di dalam kamp konsentrasi Jerman selama Perang Dunia II. Dia sangat menderita karena perlakuan dari salah seorang penjaga Jerman. Bertahun-tahun kemudian dia memberikan kesaksian tentang sukacita di dalam mengikut Tuhan di suatu pertemuan sesudah perang Jerman. Sesudah pertemuan itu, sementara orang-orang bercakap-cakap dengan dia, penjaga Jerman yang sama itu mendekati Corrie dan meminta agar dia mengampuninya. Sekilas melihatnya, Corrie mengingat kembali luka dan penderitaan yang sangat dalam karena pemenjaraannya di mana dia menderita karen a perlakuan dari penjaga penjara itu. Sekarang dia berdiri di hadapannya meminta belas kasihan. Dan penjaga yang tidak patut menerima pengampunan itu menerimanya. Belas kasihan telah menang!

Pegawai raja yang digambarkan di dalam perumpamaan ini tidak mau mengampuni. Dia memakai prinsip keadilan tanpa belas kasihan. Dia memilih keadilan yang menang daripada membiarkan belas kasihan menang. Itulah kesalahan dia. Yakobus menulis bahwa "penghakiman yang tak berbelas kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas kasihan" (2:13). Hamba tersebut menolak untuk merefleksikan belas kasihan tuannya yang telah ditunjukkannya kepadanya. Karena dia tidak menunjukkan belas kasihan kepada temannya, tetapi menuntut keadilan, hamba itu harus menghadapi rajanya sekali lagi. Dengan menuntut keadilan, hamba tersebut telah memutuskan dirinya dari tuan dan temannya.

Di dalam bagian terakhir dari drama ini, hamba yang tidak mau mengampuni itu menghadapi seorang tuan yang marah. Apa yang telah dia perbuat kepada teman yang berhutang kepadanya, sekarang diperbuat tuannya kepadanya: keadilan diberlakukan tanpa belas kasihan. Hamba tersebut telah melemparkan dirinya sendiri ke dalam penderitaan yang tidak pernah ada akhirnya.

Allah tidak dapat rnengabaikan sebuah penolakan untuk menunjukkan belas kasihan, karena hal ini bertentangan dengan sifat-Nya, Firman-Nya, dan kesaksian-Nya, Allah rnengampuni dengan menerima orang berdosa seolah-olah dia tidak pernah berbuat dosa sarna sekali. Allah mengarnpuni hutang orang yang berdosa dan Dia tidak mengingat dosanya lagi (Mazmur 103:12 dan Yeremia 31:34). Dan Allah mengharapkan orang yang telah diampuni berbuat demikian juga. Karena itu dia adalah wakil Allah di dalam menunjukkan ciri-ciri ilahi yaitu karunia mengampuni.

Kesimpulan dari perumpamaan ini tidak diakhiri dengan kata-kata yang asing. Ketika Yesus mengajarkan Doa Bapa Karni, Dia rnelanjutkannya dengan mengatakan, "Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di surga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu" (Matius 6:14-15).

Tuhan Memberkati

SHARED BY
LOG